Oleh : Ustadz Abu Adib
Aku adalah segelintir hamba Allah yang ditaqdirkan hidup di bumi
Indonesia. Sedangkan SBY adalah presiden dan pemimpinku. Dan yang aku
ketahui beliau adalah seorang muslim, dan aku belum pernah melihat
beliau melakukan tindakan kekufuran yang nyata. Kewajibanku, sebagai
anak bangsa adalah selalu mentaati perintahnya selama perintah itu tidak
melanggar syari’at Tuhanku.
Allah Yang Maha Mulia berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian”. (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat ini adalah sangat jelas bahwasanya Allah memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya serta
mentaati Ulil Amri.
Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna
ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara (pemerintah). Ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada
pemerintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama
perintahnya itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya,
maka kita wajib mentaatinya.
Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbath bin Sariyah :
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Sebagai seorang muslim, mestinya berbaik sangka kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya memerintahkan hamba-Nya
agar hamba-Nya itu celaka. Itu sangat tidak mungkin. Karena hal itu
bertentangan dengan sifat Rahmat Allah dan juga bertentangan dengan
sifat Rasul-Nya yang sangat menginginkan kebaikan kepada umatnya.
Tapi para pembaca yang budiman, aku sangat sedih. Era reformasi telah
merubah wajah umat Islam di negeriku ini. Sehingga era reformasi
diartikulasikan sebagai kebebasan dalam berfikir, kebebasan dalam
berpendapat tanpa ada batasnya. Yang mestinya itu tidak boleh terjadi
pada insan yang beradab.
Mimbar-mimbar jum’at yang semestinya dijadikan sarana untuk
menasehati umat, menyeru kaum muslimin agar selalu beriman dan bertaqwa
kepada Allah, telah berubah menjadi ajang untuk menguliti dan
menelanjangi aib-aib penguasa. Juga sumpah serapah, caci makian dan
kata-kata kotor lainnya tanpa ada rasa adab santun sedikitpun. Wallahi!
Perbuatan semacam ini, tidak ada manfaatnya sedikitpun, baik bagi para
penguasa ataupun rakyatnya. Justru yang akan terjadi adalah semakin
dendamlah penguasa kepada rakyatnya. Dan rakyat akan semakin benci dan
murka kepada pemerintahnya. Ya Allah, ampunilah kami.
Saudara-saudaraku seaqidah yang saya hormati. Kita tidak memungkiri
banyak terjadi kesalahan dan kekurangan pada para penguasa. Akan tetapi,
bukan berarti kita boleh untuk keluar dari ketaatan dalam perkara yang
ma’ruf (baik).
Nabi kita Muhammad telah bersabda :
إِسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُخِذَ مَالَكَ وَضَرَبَ ظَهْرُكَ
“Dengar dan taatlah sekalipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul”. (HR. Muslim)
Hadits ini memberikan pengertian kalaupun sampai terjadi penguasa itu
merampas harta kita dan memukul punggung kita, maka kita tetap wajib
mentaati dalam perkara yang ma’ruf. Sedangkan hak-hak kita yang dirampas
oleh penguasa maka kita minta kepada Allah balasannya. Jadi, penguasa
itu wajib di taati dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nabi bersabda :
مَنْ أَطَاعَ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَا الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku,
dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka
kepadaku”. (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi b juga bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ عَصَى
اللهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ
الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah,
dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada
Allah, dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat
kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia
telah durhaka kepadaku”. (HR. Bukhari-Muslim)
Dengan demikian, menjadi jelaslah, bahwa kesalahan penguasa itu bukan
berarti kita membolehkan kita kudeta dan keluar dari ketaatan. Dari
Auf bin Malik dia berkata bahwa Rasulullah bersabda :
أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآَهُ يَأْتِيْ شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ فَالْيَكْرَهُ الَّذِيْ يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
وَلاَ يَنْزِعَنْ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang
penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat,
maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak
melepaskan ketaatan kepadanya”. (HR. Muslim)
Para pembaca yang budiman, mungkin masih ada yang belum puas dengan
hadits-hadits di atas sebagai hujjah untuk taat kepada penguasa walaupun
ada kedhaliman pada penguasa tersebut.
Baiklah, sekarang bandingkan. Lebih dhalim mana antara penguasa kita
SBY dengan Hajjaj bin Yusuf. Barang kali, semua telah tahu bagaimana
kejam dan kedhalimannya. Sekian banyak kaum muslimin bahkan para ‘ulama
yang mati ditangan Hajjaj ini. Sampai-sampai seorang tabi’in yang
bernama Zubair bin ‘Adi beliau mendatangi Anas bin Malik –sisa shahabat
yang masih hidup pada masa itu-. Zubair bin ‘Adi mengeluhkan kejamnya
penguasa Hajjaj bin Yusuf. Maka Anas berkata kepadanya :
إِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا
وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقُوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ
مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bersabarlah kalian. Karena sesungguhnya tidaklah datang kepada
kalian suatu zaman melainkan setelahnya lebih buruk dari sebelumnya
hingga kalian menemui Rabbmu (meninggal dunia). Aku telah mendengarnya
dari Nabi kalian “. (HR. Bukhari)
Lihatlah perkataan shahabat yang mulia ini. Dengan kedalaman dan
keluasan ilmunya, Anas tidak gegabah dalam menentukan suatu keputusan
hukum. Karena beliau memiliki pandangan jauh ke depan. Serta pengetahuan
beliau terhadap realita yang dialami umat manusia. Kalau seandainya
Anas memerintahkan kepada Zubair bin ‘Adi untuk memberontak, mungkin
akan terjadi kerusakan yang lebih besar dan korbannya akan semakin
banyak berjatuhan.
Sekarang, bandingkan dengan Presiden SBY. Pernahkah harta kita
diambil olehnya? Pernahkah punggung kita dipukul olehnya? Pernahkah
beliau membantai kaum muslimin? Pernahkah beliau membunuh para ‘ulama?
Kalau seandainya kita jawab belum pernah. Maka alasan apa yang
menghalangi kita untuk taat kepadanya?
Pembaca yang budiman, demikianlah. Semoga risalah ini bermanfaat.
Rujukan : Riyadhush Shalihin
www.salafy.or.id
0 komentar:
Posting Komentar